12 February 2008

Toxic Success: sukses yang beracun

Ternyata sukses tidak selalu manis. Sukses bisa juga justru menghancurkan kehidupan seseorang. Membuat seseorang dihantui oleh disforia: kesedihan, ketakutan dan kecemasan, untuk mengejar dan mempertahankan sukses. Paul Pearsall, seorang doktor psikologi pendidikan, menyebutnya sebagai toxic success. Sukses yang beracun. Menurutnya, gejala psikologis ini begitu banyak menyebar di dunia modern ini sehingga seringkali orang menganggapnya sebagai sesuatu yang normal.

Mengapa sukses bisa mengandung racun?
Diantara sebabnya adalah pandangan hidup yang menganggap sukses sebagai perjuangan hidup atau mati, masalah to be or not to be. Merasakan emosi bersaing, menang dan mengalahkan lawan. Contoh yang cukup menarik adalah yang dituliskan oleh Matt Biondi, seorang peraih delapan medali emas dalam tiga olimpiade menulis, dalam pengantar buku Toxic Success: How to Stop Striving and Start Thriving, karya Dr Pearsall. Ia menuliskan:

"...Aku telah mengejar sukses karena, seperti kebanyakan orang, aku berpikir bahwa sukses akan mengangkatku di atas semua yang lain dan bahwa aku akan merasa berada di atas dunia. Tetapi bersamaan dengan sukses yang aku rindukan, datanglah kesadaran bahwa berada di atas dunia membuat aku tidak lagi menjadi bagian dari dunia sebenarnya –bahkan aku merasa hilang di dalamnya. Sukses telah memperbudak aku. Karena, begitu aku tampak memilikinya, sukses akhirnya memiliki aku.

Aku ingat kenangan masa kecil ketika aku jatuh, mengusap daguku, dan lari ketakutan untuk dihibur ibuku. Aku ingat bagaimana rasanya menunjukkan kelemahanku secara bebas dan bukan menunjukkan bahwa aku tak terkalahkan. Aku ingin bebas berbagi hidup yang bermakna dan bahagia dengan orang-orang yang aku cintai. Untuk menikmati perasaan menjadi saudara yang baik, anak yang penuh kasih, dan pada suatu hari menjadi seorang suami dan ayah yang membahagiakan anak-anakku sendiri, serta berbagi kekacauan hidup yang menakjubkan dengan seseorang yang mencintaiku bukan karena, tetapi, walaupun aku berhasil. "

Sebuah pengakuan kerinduan yang jujur dan bersahaja. Untuk mengejar dan mempertahankan sukses, seringkali seseorang mengorbankan hal-hal yang indah dalam kehidupan –seperti kasih sayang, cinta, persahabatan, dan keimanan.

Tentu saja tidak semua orang sukses menderita toxic success. Ada sukses yang beracun dan tentu saja ada sukses yang manis adanya. Kalau ditawarkan memilih yang mana, tentu saja setiap orang akan memilih yang kedua. Hanyasaja, racun-racun sukses itu barangkali tidak kita sadari sebelum ia benar-benar merusak keberhasilan kita. Yang harus kita lakukan adalah berhati-hati. Sambil berhati-hati terhadap racun-racunnya, sebagai orang muda kita bertanggungjawab untuk memperjuangkan mimpi-mimpi dan cita-cita kita menjadi kenyataan.

*Semangat, dank! Tugas Akhir menunggumu ;)
Kadang2 saya merasa butuh menyemangati diri sendiri...

4 comments:

Tee said...

Seseorang bilang kalo neither succes nor failure is ever find ato succes is a journey..
Jadi sapa tau dijalan itu ada yang mengganjal..
Oh y, sebaik apa kita bisa "berjalan" itu ditentukan oleh attitude kita..asal attitudenya baik..yah begitulah..

Dadang Suhirman said...

"...success is a journey"

Menarik juga..
Seorang teman juga pernah bilang,
ketika menemui halangan dlm 'perjalanan' panjang itu, yg harus dilakukan adalah: hadapi, hayati, dan nikmati

Kalo 'racun-racun' dalam toxic success itu, bukan halangan di 'luar sana' (ekstrinsik) tapi masalah di 'dalam sini' (intrinsik). Karena Pearsall bilang , ini adalah masalah pandangan hidup...

Anonymous said...

Jangan lupa sukses yang diakhirat!?

Dadang Suhirman said...

Yap, tentu saja.
Semua pasti ingin 'dapet' dua-duanya.
Ingin dunia, ada ilmunya.
Ingin akhirat, ada ilmunya,
Ingin dua-duanya, juga ada ilmunya...