06 April 2008

Hati yang bermusim


Dalam salah satu bagian di ‘edensor’, Ikal menceritakan kota Paris saat mulai menyambut musim panas. Ia menggambarkan bagaimana polisi menjadi lebih ramah; tukang kebab yang terkenal pelit, membanting harga sesukanya; kondektur metro yang biasanya cemberut, mulai merekahkan senyum. Di teater, penonton bersukacita. Pementasan kisah-kisah pilu dimana kebahagiaan pun sampai ditangisi, berganti dengan cerita orang-orang yang justru bisa menertawakan kesusahannya.

Petani tersenyum, gadis-gadis kecil tersenyum, penggembala tersenyum, semuanya tersenyum. Bahkan, menurut Ikal, biri-biri gendut pun tersenyum. Intinya: hati yang menciut dan mudah putus asa, saat itu kembali merona. Perubahan musim telah memberi perubahan pada suasana hati orang-orang, lalu perilakunya, dan lalu kehidupan sosial mereka.

Lalu, apakah dalam hati seseorang sendiri juga bermusim? Kalau suasana hati (mood) yang sering berubah-ubah, memang iya. Tapi, untuk yang ini barangkali lebih tepat kalau dianalogikan sebagai cuaca, bukan musim. Musim, durasinya lebih panjang. Setahun cuma ada empat musim (atau dua saja untuk wilayah tropis seperti Indonesia ini). Musim adalah kecenderungan cuaca dalam kurun waktu yang relatif lama. Musim hati berarti kecenderungan suasana hati dalam waktu yang tidak sebentar.

Kalau musim hati memang ada, berarti juga ada macam-macamnya. Ada saatnya hati cenderung terisi dengan setumpuk emosi negatif. Saat menjumpai hal-hal yang tidak diinginkan atau mengalami peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan, hati menjadi penuh ketidakrelaan, marah, jengkel, kecewa, sedih, sakit hati, merasa terhina, dsb. Ada juga saatnya, hati cenderung kepada emosi positif seperti keceriaan, antusiasme, kepuasan, dan cinta, yang membuat pemiliknya menjadi lebih mudah menolong, ringan tersenyum, gampang memaafkan dsb., sekalipun sedang berhadapan dengan episode yang tidak diinginkan.

Jadi, memang adakah musim di hati itu? Kalau memang ada, apakah ia juga datang silih berganti seperti pergantian musim di atas bumi? Ataukah, kita sendiri bisa mengupayakan menghadirkan musim ke dalam hati sesuai yang kita sukai?

Di ujung sebuah do’a –yang oleh Rasulullah dijamin bahwa seorang hamba tidak akan ditimpa duka cita dan kesedihan jika membaca dan mempelajarinya, dituliskan: “...Semoga Engkau jadikan Al Qur’an musim semi dan cahaya bagi hatiku, penghapus kesedihanku, dan penawar duka citaku.”

2 comments:

Workshop riska said...

dahsyat nian dadang ini..menyatukan dua tokoh ikal dan rasul dalam satu kisah tentang suasana hati. “...Semoga Engkau jadikan Al Qur’an musim semi dan cahaya bagi hatiku, penghapus kesedihanku, dan penawar duka citaku.”
ayo kita bantingan buat beli kado kawinannya mbak genduk..

Dadang Suhirman said...

Seandainya hanya ada musim semi...
Gak enak juga ding!
Mengganggu cosmic ordering!!! :)

Yok. Bagusnya ngasih kado apaan ya,Ris? Yg long lasting aja pokoknya.