Seharian tadi di kampus. Lumayan rame. Ada mahasiswa baru yang masih lucu-lucu lagi ngikutin ospek. Ada juga mahasiswa lama (OK janji, saya nggak akan nulis: mahasiswa tua, karena saya sendiri masuk di dalamnya. males banget nulisnya. =P ) yang lagi pendadaran atau sekedar menjadi suporter pendadaran seperti saya ini. Sebenarnya ada istilah lain dari cewek-cewek TI untuk para suporter pendadaran ini: dayang-dayang pendadaran (ya ampun...).
Ada yang menarik. Teman saya, ada yang malah terus nangis setelah dinyatakan lulus. Mungkin itu suatu ekspresi kebahagiaan yang ia rasakan setelah berhasil melewati sebuah perjuangan panjang dan melelahkan. Kalau dicermati, masalah dan kesulitan yang dihadapi teman-teman dan juga saya sendiri selama mengerjakan TA memang macem-macem, beragam, dan warna-warni. Maka, wajar saja kalau kelulusan menjadi sesuatu yang sangat-sangat membahagiakan. Lho, tapi kok nangis? Ya, menangis memang tidak selalu karena penderitaan. Kita juga justru akan menangis (haru) saat menemui episode kehidupan yang sangat membahagiakan. Seperti, kelulusan tadi misalnya. Atau, pada saat akhirnya seseorang diresmikan sebagai pasangan hidup dari pujaan hatinya. Menangis yang seperti ini, biasanya justru sangat indah. Sampai-sampai ada yang bilang: the tears that she cried in my wedding day, were astonishingly beautiful. Ini cuma kata-kata dari dorama jepang yang akhir-akhir ini sering saya tonton. =P
***
Gara-gara melihat mahasiswa baru yang lagi ngikutin ospek, saya juga jadi ingat peristiwa 2 tahun yang lalu. Ini tentang nangis juga, tapi beda.
Dua tahun lalu, saya ikut jadi panitia kegiatan ospek fakultas untuk mahasiswa baru. Acaranya 3 hari, dan tiap malam saya nginep. Dua malam di rumah teman SMA yang kebetulan ikut jadi jurnalis independen di acara itu, dan malam terakhir nginep di kost teman sesama panitia. Sampai nginep, kok niat banget??? Lha yo, kalau nggak nginep berarti saya harus berangkat dari rumah sebelum shubuh, karena panitia harus stand by di lokasi acara dari jam 5 pagi. Tidak...! Bisa rusak badanku kalau harus pergi sebelum shubuh dan pulang malam naik motor bolak-balik 2x45 menit tiap hari selama 3 hari berturut-turut dengan kegiatan siang hari yang cukup melelahkan. Jadi menurut saya, menginap adalah sebuah pilihan cerdas pada waktu itu. Siip! =P
Terus, nangisnya mana? Nggak jadi ah ceritanya. Yang jelas pada malam terakhir –waktu naik motor menuju kost temanku, saya menangis di jalan pulang. Saya menangis sebagai seorang laki-laki! Untung sudah malam. Dan pakai slayer...
***
dadank, masih menunggu dosen pembimbing balik dari jepang.
Pak, kapan pulang....? (nggak pake nangis...)
Pak, kapan pulang....? (nggak pake nangis...)
No comments:
Post a Comment