21 October 2007

Are You Engineering Enough?

Dalam perbincangan ngalor-ngidul waktu silaturahim lebaran bareng anak-anak KKN kemarin, terungkaplah sebuah fakta. Fakta tentang persepsi teman-teman di luar sana mengenai mahasiswa TI. Salah seorang teman waktu itu mengatakan bahwa menurutnya anak-anak TI itu kurang kelihatan tekniknya. Ia sedikit membandingkan dengan anak-anak Sipil dan Mesin yang katanya ‘teknik banget’. Entah apa maksud istilah ini. Kebetulan kami tidak membahasnya lebih lanjut karena memang hal ini bukan inti pembicaraan kami waktu itu. Lagipula, hal ini bukan sesuatu yang baru sekali ini kudengar. Tetapi, karena teman yang ngomong tadi adalah anak Psikologi, hati kecilku mengatakan alangkah tidak bijaksananya jika diabaikan begitu saja. Njuk, apa hubungannya? Maksudku, jangan-jangan ini menyangkut karakter, attitude, ataupun sikap mental yang dilihatnya dari sudut pandang psikologi. Mungkin ungkapan ‘jangan-jangan’ saya tadi memang terlalu berlebihan. Karena, kemungkinan besar persepsi itu hanya berdasarkan penampakan luar saja. Memang ada mitos bahwa selain terkenal agak narsis, anak-anak TI juga dikenal sebagai anak teknik yang ehm..ehm... charming! Gubrak !!! (Bukankah pernyataan ini sudah cukup membuktikan mitos yang pertama saudara-saudara?) Tapi, walaubagaimanapun pendapat teman saya tadi cukup menarik untuk dijadikan bahan renungan.

Pertama-tama, marilah kita buka lagi definisi teknik atau engineering. Menurut Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET), engineering
adalah suatu profesi dimana pengetahuan matematika dan ilmu-ilmu alam yang diperoleh dengan studi, pengalaman, dan latihan, digunakan untuk mengembangkan cara-cara (develop ways) memanfaatkan bahan-bahan dan sumber-sumber daya alam secara ekonomis untuk kesejahteraan manusia. Dari ketiga poin yang di tulis tebal, dapat diketahuai 3 hal pokok yang harus dimiliki oleh seorang engineer, yaitu:
1. Kemampuan atau keahlian
2. Sikap mental
3. Etika
Berkaitan dengan psikologi yang disebutkan di awal tadi, maka poin yang akan dibicarakan di sini adalah mengenai sikap mental seorang engineer. Sikap mental yang harus dimiliki seorang mahasiswa teknik, seperti saya ini, agar bisa dikatakan ’teknik banget’. Sebuah istilah yang, seperti saya sebutkan di awal, belum disepakati maksud dan definisinya.
Dalam buku saku Sikap Mental dan Etika Profesi Teknik, terbitan FT UGM, dinyatakan bahwa sikap mental teknik berbeda dengan sikap mental ilmuwan.
Pertama, menurut Winfrey (1962), scientist lebih menekankan pada pertanyaan ’mengapa’, sedangkan engineer lebih menekankan pada pertanyaan ’bagaimana’. Mengapa demikian? Atau biar lebih engineer, pertanyaannya diganti aja: Bagaimana bisa terjadi demikian? Mari kita tanyakan saja pada Pak Winfrey... Menurutnya, hal ini dikarenakan problem utama yang dihadapi seorang scientist dan seorang engineer berbeda. Problem utama scientist adalah mencari kebenaran, sedangkan problem utama seorang engineer adalah menentukan tindakan atau dalam bahasa aslinya course of action. Ternyata Pak Winfrey menjawab dengan gaya seorang scientist...
Kedua, menurut Resnick (1981), scientist umumnya termotivasi oleh keingintahuan (curiousity) dan tidak dibatasi oleh pertimbangan pelaksanaan praktis, dan ekonomis. Sedangkan engineer umumnya berorientasi pada masalah dan lebih dimotivasi oleh kebutuhan (need) daripada keingintahuan. Menurutnya, engineer harus bisa bekerja dengan selalu mempertimbangkan batasan teknologi dan ekonomi.
Ketiga, Ruud dan Watson (1968) juga ikut urun rembug sambil memberikan contoh yang bagus buat kita semua. Mereka menyatakan bahwa engineer harus mempunyai kualitas mental untuk dapat bekerja bahkan di luar batas-batas ilmu pendukung yang tersedia. Mereka mencontohkan:
1. Orang sudah membuat rumah sebelum teori tentang struktur dikembangkan.
2. Orang eskimo sudah dapat membangun igloo yang hangat untuk tempat tinggal padahal mereka belum pernah belajar teori-teori perpindahan kalor.
Keempat, karena kompleksitas problem yang dihadapi, serta adanya keterbatasan waktu dan sumber daya, seorang engineer dituntut untuk dapat menentukan prioritas secara bijaksana. Dalam artian, menentukan aspek apa saja yang perlu kalkulasi/pertimbangan yang cukup teliti dan aspek mana yang cukup dengan kalkulasi yang lebih kasar.

Jadi, engineer tidak menekankan pada jawaban yang 100% benar, tapi pada jawaban yang dapat dimanfaatkan (useful), terutama untuk menentukan tindakan. Tapi tidak berarti bahwa engineer tidak butuh science dan mental ‘mengapa’. Bahkan sebaliknya, science dan matematika adalah peralatan (tools) yang sangat penting diantara sekian banyak tools yang dibutuhkan oleh seorang engineer.

Itulah beberapa poin yang dipaparkan dalam buku saku yang dibagikan pada waktu ospek fakultas 3 tahun yang lalu tapi tidak pernah saya baca.
So, Are You Engineering Enough?
-----------
CATATAN:
Tidak ada salahnya juga untuk menyimak baik-baik kutipan di bawah ini:
” Yang terpenting bukanlah bagaimana, tetapi mengapa kita melakukan sesuatu. Karena, ketika mengapa itu besar, bagaimana menjadi kecil.”
Ini menyangkut masalah niat dan motivasi. Silahkan ditafsirkan sendiri...

3 comments:

Anonymous said...

Ngetest comment...
Tes...tes...

Kayaknya font di blog ini terlalu kecil ya. Bikin pedhes di mata.
Ya deh, posting berikutnya fontnya digedhein..

Anonymous said...

dank, kok gak host di web.ugm.ac.id?
gratis lho...
klo mau ngoprek, dari lingkungan UGM aksesnya cepet, ratusan KBps?
dapet email @mail.ugm.ac.id lagi
gratis...., maksudnya gak bayar lagi.
sorry gak nyambung ro artikelle..

Dadang Suhirman said...

rochmad:
ho'o sih, tambah keren juga kalo ada ugm.ac.id-nya. tp kemarin njajal2 pake template joomla sm wordpress agak kurang mahir. maklum, rada gaptek ;)
Jadinya, pake blog biasa, gratisan jg kan...