13 May 2008

Menjadi Manusia

: dituliskan kembali dari artikel Jalaluddin Rakhmat


Membaca lalu menuliskannya kembali, ternyata membuat kita jadi lebih mudah dalam memahami atau ngedhongi apa yang kita baca. Aktivitas ini baru menjadi lumayan sering saya lakukan saat mengerjakan skripsi belakangan ini. Terutama pada bab landasan teori (jadi, baru sampai landasan teori ya...?? :p ) Ya, memang sangat belum menggembirakan kalau ngomongin skripsi saya sampai saat ini. Belum banyak kemajuan...

Manusia, di banyak ayat Al Quran, disebutkan dengan istilah basyar, insan, dan al nas atau turunan dari ketiga kata itu. Ketiganya sama-sama mengacu pada makna manusia, hanya saja ada bedanya.

Pertama, istilah basyar mengacu pada manusia sebagai makhluk biologis. Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur material (dilambangkan dengan unsur tanah). Seperti matahari, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, manusia secara otomatis tunduk pada takdir Allah di alam semesta. Kata basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia: makan, minum, berjalan di pasar, dsb.

Kedua, istilah insan. Kata insan mengacu pada manusia sebagai makhluk psikologis atau spiritual. Insan diberi keistimewaan yang berbeda dengan binatang. Manusia diberi kemampuan untuk mengembangkan ilmu, daya nalar serta pemahamannya. Manusia juga diajari kemampuan berbicara (al bayan). Ingat, sapi memang bisa mengemooh dan kambing bisa mengembik, tetapi mereka tidak bisa menceritakan peristiwa masa kecilnya kepada teman-temannya sesama sapi atau kambing.

Insan juga berkaitan dengan manusia sebagai pemikul amanah (merealisasikan tujuan penciptaannya untuk beribadah melalui perannya sebagai khalifah di atas bumi), oleh karenanya juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab. Manusia diwasiatkan untuk berbuat baik, amalannya dicatat dengan cermat untuk kemudian diberi ganjaran sesuai apa yang dikerjakannya. Dalam menjalankan amanahnya manusia diberi predisposisi positif (kecenderungan untuk beriman dan mentaati Allah) sekaligus predisposisi negatif (seperti: kecenderungan untuk zalim, tergesa-gesa, bakhil, bodoh, banyak membantah, dsb.). Nah, menjadi tugas manusia untuk memenangkan predisposisi positifnya. Mengembangkan iman dan ilmunya melalui amal shalih. Jadi, hidup menusia adalah medan untuk membuktikan amal shalihnya. Tak boleh dilupakan, bahwa di sini ada setan yang selalu memusuhi, menggoda, dan menjerumuskan. Namanya juga setan... :p

Yang ketiga, al nas. Ini berkaitan dengan manusia sebagai makhluk sosial. Al nas menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya. Misalnya, kelompok yang tidak beriman, yang tidak berilmu, yang tidak bersyukur, yang fasik, yang melalaikan ayat-ayat Allah dsb. Juga kelompok manusia yang beriman, yang berilmu dan dapat mengambil pelajaran, yang bersyukur, dsb. Dari redaksi ayat-ayat Al Quran ditunjukkan bahwa kelompok kategori yang pertama jumlahnya lebih besar dibandingkan kategori yang kedua.

Fyuuh... bener kata tejo, sepertinya postingan di blog ini terasa gak simple dan kurang kongkret. Saya jadi kepikiran untuk mengganti judul blog ini (koq penyelesaiannya malah kebalik gini ya..?? :p).

Biar postingan ‘menjadi manusia’ ini menjadi lebih kongkret, saya akhiri saja postingan ini dengan jawaban Cak Nun saat ditanya tentang profesinya. Terhadap pertanyaan ini Cak Nun menjelaskan bahwa dirinya bukan siapa-siapa. Bukan penyair, bukan seniman, bukan mubaligh, atau yang lain-lain, melainkan seorang pekerja. Seorang manusia yang dalam hidupnya mempunyai kewajiban untuk bekerja. Baginya, manusia sudahlah yang tertinggi. Profesi apapun yang ia jalani hanyalah sebagian fungsi yang dimiliki dalam hidupnya untuk mengutuhkan kemanusiaannya.

Alhamdulillah, menurut banyak pakar (termasuk Hermawan Kertajaya), manajemen dalam dunia bisnis/dunia kerja (tempat saya turun gelanggang saat lulus nanti) sekarang ini cenderung semakin etis atau semakin manusiawi. Bisa kita lihat jargon-jargon seperti, “green company, corporate social responsibility, respect for humanity”. Bukan berarti yang dulu-dulu, “produktivitas, efektivitas, efisiensi, improvement”, ditinggalkan. Tetapi perusahaan-perusahaan seolah mengatakan: we’re going beyond! Mungkin suatu saat nanti, kecenderungan yang semakin manusiawi ini akan mengarah ke yang semakin siritual/semakin ilahiah. Ya, selalu ada optimisme...

No comments: